JAKARTA – Dalam menghadapi tantangan global yang dihadapi oleh petani dan pelaku UMKM pangan, pernyataan dukungan yang kuat terhadap kebijakan perdagangan internasional menjadi sangat penting. Penegasan ini dikemukakan oleh Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional (DPN) Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), Fadli Zon, dalam sebuah forum diskusi ekonomi baru-baru ini.
Dengan latar belakang kebijakan tarif tinggi dari Amerika Serikat yang dikenal sebagai “Tarif Trump”, Fadli menyebutkan perlunya perhatian lebih kepada petani lokal dalam setiap kebijakan perdagangan yang dikeluarkan pemerintah. Dukungan ini memberi sinyal bahwa kesejahteraan petani harus menjadi prioritas dalam deretan agenda perdagangan internasional.
Dukungan Penuh Terhadap Kebijakan Perdagangan
Dalam diskusi tersebut, Fadli Zon menekankan bahwa petani tidak boleh menjadi korban dari kebijakan perdagangan yang tidak menguntungkan. “Kami di HKTI mendukung penuh sikap pemerintah dalam melindungi petani dari dampak negatif kebijakan dagang ini. Kita perlu strategi yang lebih berorientasi pada peningkatan kesejahteraan petani,” jelasnya.
Menurut Fadli, langkah-langkah diplomasi perdagangan yang lebih aktif dan agresif diperlukan. Ia mendorong agar diversifikasi pasar ekspor menjadi bagian dari strategi dagang yang lebih luas. Diverifikasi pasar penting untuk memastikan bahwa petani memiliki akses ke pasar yang lebih luas, serta tidak tergantung pada satu negara saja.
Strategi dan Solusi untuk Petani
Di samping itu, DPN HKTI menyampaikan pentingnya prinsip “trade for development”. Hal ini bertujuan untuk menciptakan kesejahteraan bagi petani di tengah tantangan global yang ada. Salah satu langkah yang diusulkan adalah meningkatkan daya beli masyarakat melalui program bantuan sosial dan penyediaan makanan bergizi gratis.
Fadli juga menekankan pentingnya percepatan program makan bergizi gratis yang dapat disinergikan dengan peningkatan produksi pangan lokal. Misalnya, dengan mengadopsi pola intercropping pada lahan perkebunan dan menerapkan praktik regenerative agriculture pada lahan kritis, diharapkan produktivitas bisa meningkat secara signifikan.
Dalam konteks ini, akselerasi sektor riil juga menjadi prioritas. Pemerintah disarankan untuk memberikan stimulus fiskal dan non-fiskal serta memanfaatkan Dana Keluar dan Pajak Ekspor dari BPDP untuk mendongkrak produktivitas petani. Pendekatan ini akan membantu dalam membangun industri kecil berbasis koperasi yang memberdayakan petani.
Pembangunan ini mencakup pabrik pengolahan kelapa sawit dan pengolahan karet untuk meningkatkan nilai tambah produk yang dihasilkan. “Hilirisasi harus dikuasai oleh petani, bukan hanya perusahaan besar. Ini penting untuk memastikan pendapatan mereka,” tegas Fadli.
HKTI juga mencermati peluang yang muncul akibat pergeseran rantai pasok global sebagai dampak dari kebijakan perdagangan yang diambil oleh AS. Fadli mendorong agar Indonesia memanfaatkan celah tersebut dengan menjadikan petani lokal sebagai basis produksi ekspor yang efektif.
Namun, ia memberi peringatan bahwa perlu ada kehati-hatian dalam mengambil langkah. “Jangan sampai kita hanya jadi pengalihan pasar. Fokus kita harus jangka panjang, terutama di kawasan ASEAN dan Pasifik,” imbuh Fadli.
Terkait komoditas impor seperti kedelai, gandum, dan jagung dari AS, HKTI merekomendasikan penerapan tarif resiprokal sebagai bentuk retaliasi terhadap kebijakan yang merugikan. Opsi lainnya adalah membuka pasar dengan syarat penghapusan tarif atas ekspor produk domestik, seperti CPO, karet, dan kopi.
Terakhir, Fadli menekankan pentingnya negosiasi yang lebih baik dengan pihak luar: “Kalau Amerika memberikan tarif tinggi ke produk kita, kita harus bisa negosiasi balik. Promosi produk kita di sana juga harus ditingkatkan agar lebih dihargai.” Pendekatan ini diharapkan dapat memberikan dampak positif bagi petani dan memperkuat posisi Indonesia di pasar global.