Polda Metro Jaya baru-baru ini mengamankan 351 orang dalam aksi unjuk rasa di sekitar Gedung DPR RI, Jakarta. Dari jumlah tersebut, 196 di antaranya merupakan anak di bawah umur, yang menunjukkan bahwa fenomena keterlibatan pelajar dalam demonstrasi semakin memprihatinkan.
Dalam situasi ini, banyak yang bertanya-tanya, kenapa anak-anak dapat terlibat dalam aksi yang seharusnya menjadi isu orang dewasa? Yakinlah, ini tidak hanya soal kebebasan berekspresi, tetapi juga menyangkut dampak jangka panjang terhadap pendidikan dan masa depan mereka.
Mengapa Anak-Anak Terlibat dalam Demonstrasi?
Data menunjukkan bahwa banyak anak yang terlibat dalam unjuk rasa dipicu oleh ajakan melalui media sosial. Hal ini menunjukkan bahwa platform digital saat ini memainkan peran penting dalam menggerakkan massa, termasuk di kalangan anak-anak dan remaja. Terlibat dalam kegiatan sejenis ini tidak hanya membuang waktu mereka, tetapi juga dapat berdampak negatif pada pendidikan dan pengembangan diri. Terlebih lagi, tekanan dari teman sebaya bisa menjadi faktor yang semakin memperburuk situasi.
Pengamatan dan pengalaman di lapangan menunjukkan bahwa anak-anak sering kali kurang memahami isu yang sedang diperjuangkan. Mereka ikut serta hanya karena dorongan dari teman-teman atau tren yang viral di media sosial. Akibatnya, ketidakpahaman ini dapat menjadikan mereka korban manipulasi oleh pihak-pihak tertentu yang memiliki agenda sendiri. Hal ini sangatlah berisiko, karena tidak hanya berkaitan dengan keamanan mereka, tetapi juga dengan pemahaman mereka mengenai hak dan kewajiban sebagai warga negara.
Strategi Mengatasi Keterlibatan Anak dalam Aksi Massa
Penting bagi orang tua, sekolah, dan pemerintah untuk mengambil langkah proaktif dalam melindungi anak-anak dari keterlibatan dalam unjuk rasa. Pertama, orang tua harus lebih mengawasi aktivitas anak di media sosial, terutama konten-konten yang berkaitan dengan isu politik atau unjuk rasa. Edukasi tentang bahaya mengikuti ajakan yang tidak dipahami sangat lah penting.
Kedua, sekolah seharusnya mengintegrasikan pembelajaran mengenai civic education atau pendidikan kewarganegaraan dalam kurikulumnya. Ini akan membantu anak-anak memahami hak-hak mereka sebagai warga negara, termasuk cara menyampaikan pendapat secara positif. Melalui forum-forum resmi yang ada di sekolah, anak-anak dapat mengekspresikan pemikiran mereka tanpa harus terjun langsung ke aksi demonstrasi.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) juga sudah mengisyaratkan bahwa pendekatan mereka seharusnya lebih humanis, tanpa memadamkan semangat anak-anak untuk menyuarakan pendapat. Melainkan, mereka harus diarahkan ke cara yang lebih konstruktif dan aman. Keberadaan koordinasi antara berbagai lembaga, termasuk kepolisian dan KPAI, menjadi kunci untuk mencapai tujuan tersebut.
Penutup, kita semua memiliki peran penting dalam membimbing generasi muda agar tidak salah arah. Mari kita bersama-sama menciptakan lingkungan yang aman dan mendukung, di mana anak-anak dapat mengekspresikan aspirasinya tanpa risiko yang berbahaya. Dalam jangka panjang, ini akan membantu mereka menjadi warga negara yang lebih peka dan bertanggung jawab.