Kasus beras oplosan yang marak belakangan ini semakin mengkhawatirkan masyarakat Indonesia. Hal ini merupakan pelanggaran hukum serius yang tidak hanya mengancam kesehatan konsumen, tetapi juga mencoreng citra industri pangan nasional. Beras yang seharusnya menjadi kebutuhan pokok sehari-hari justru terjebak dalam praktik curang yang merugikan semua pihak.
Dengan adanya Peraturan Kepala Bapanas No. 2 Tahun 2023, pemerintah semakin mempertegas standar mutu beras. Memang, beras premium harus memenuhi kriteria tertentu agar dapat dikategorikan sebagai produk berkualitas. Namun, realita di lapangan menunjukkan adanya pelanggaran yang semakin mengkhawatirkan.
Standar Mutu Beras yang Harus Dipatuhi
Pemerintah telah menetapkan bahwa beras premium harus memiliki derajat sosoh minimal 95 persen dan kadar air maksimal 14 persen. Standar ini ditujukan untuk melindungi konsumen dan memastikan kualitas produk yang beredar di pasar. Namun, banyak pelaku usaha yang mengabaikan peraturan ini demi keuntungan sesaat, melabeli produk mereka tanpa memenuhi syarat yang ditentukan.
Menurut data dari SNI 6128:2020, persyaratan beras premium semakin ketat. Beras yang dijual sebagai produk premium harus terdiri dari minimal 85 persen beras kepala dan maksimal 14,5 persen beras patah, serta bebas dari cemaran hama yang berbahaya. Praktik beras oplosan dengan persentase beras patah yang melebihi ketentuan jelas merupakan pelanggaran yang dapat merugikan konsumen.
Strategi Mengatasi Masalah Beras Oplosan
Untuk memerangi fenomena kecurangan terhadap perlakuan beras ini, perlu adanya strategi yang komprehensif. Salah satu langkah penting adalah penguatan pengawasan distribusi beras. Pengawasan yang lebih ketat menjadi sangat krusial demi menjaga kualitas produk dari hulu sampai hilir. Penegakan hukum saja tidak cukup; kita perlu solusi inovatif.
Salah satu teknologi yang dapat diterapkan adalah penggunaan barcode atau QR Code pada kemasan beras. Dengan melakukan ini, konsumen dapat melacak asal-usul produk beras tersebut mulai dari produsen hingga ke tangan konsumen. Teknologi ini tidak hanya melindungi konsumen tetapi juga meningkatkan kepercayaan publik terhadap industri beras nasional.
Jadi, sudah saatnya kita semua berperan aktif untuk memastikan kualitas beras yang kita konsumsi dan mendukung kebijakan yang mendorong praktik baik dalam industri pangan. Jika sektor pangan ingin berkembang dan bersaing di tingkat global, praktik beras oplosan harus dihentikan.